Minggu, 08 Januari 2012

Rebmesed


Sebaris kalimat puitis tiba-tiba saja hadir dalam pandangan mata Hena, yang kemudian ia baca dengan pelan-tak terdengar. Dalam pandangan itu, pikirannya mencoba menjelajah ke suatu masa yang telah lalu, recall memory, kapan tepatnya ia menulisnya pada secarik kertas itu.

Tulisan itu memang tulisannya, tulisan yang hanya sebaris itu. tulisan yang sekarang sudah ia ingat betul kapan ia tuliskan, berikut alasan kenapa ia menuliskannya. Kalimat puitis yang tak selesai itu ia tulis di satu sudut kamar, di sebuah rumah kayu bertingkat dua, yang terletak di pojokan jalan di salah satu sudut sebuah desa bernama rebmesed.

Semuanya memang bermuara pada rebmesed, satu desa di negerinya yang begitu tertanam di hatinya. Satu desa yang sebenarnya baru saja ia tinggalkan (lagi) 7 hari yang lalu.

Sebuah desa yang sebenarnya, secara kasat mata tak memiliki perbedaan yang mencolok dengan desa-desa lain di negerinya, namun di rebmesed-lah, sekitar 25 tahun yang lalu, di jumat pagi yang dini, Hena untuk pertama kalinya menyuarakan tangisnya, memperlihatkan senyum kecilnya, menyapa dunia, Ia terlahir di desa itu, di rebmesed.

Mungkin itu pula yang mendasari kenapa rebmesed begitu dalam tertanam di hatinya. Desa yang acap ia sebut sebagai "tempat spiritual". Tapi pikirannya kini, hanya tertuju pada kejadian di desa itu, dua tahun yang lalu.

Di malam itu, ia masih ingat bagaimana seluruh manusia bergegas keluar rumah dan gedung-gedung, berhamburan, berlarian, penuh keceriaan, bersukaria, bersorak-gembira, saling berpelukan, tertawa riang, hingga jala-jalan di rebmesed tertutupi oleh tumpukan manusia yang bersiap merayakan pesta. Pesta yang memang acap diselenggarakan di tanah rebmesed, pesta menyambut sebuah hari baru yang diharapkan membawa keberuntungan, membuka lembaran baru, yang putih-suci, satu hari yang membawa harapan segar, bagi kehidupan milyaran anak manusia kedepannya.

Ia masih ingat pula bagaimana manusia-manusia itu berhitung mundur menyambut pesta yang sudah diambang, "tigaaaa...duaaaaa...saatuuuuuuu!!!", merekapun larut, bunyi riuh terompet melayang bersama angin dan membahana ke seluruh penjuru desa, semua bercampur, melebur menjadi satu, mereka mendadak melupakan segala hal yang menggangu pikiran, untuk sementara melepas segala keputus-asaannya masing-masing, pesta!.

Tapi Hena juga masih ingat betul dimana ia saat itu, saat manusia-manusia itu tumpah ruah di jalanan dalam pesta, dimana ia ternyata tetap tak beranjak dari kasurnya, ia pun masih mengingat benar tentang apa yang ia pikirkan di malam itu, seraya menatap kehidupan yang terjadi di luar jendela kamarnya, soal apakah hanya dirinya sendiri yang tak menyatukan diri dengan lautan manusia itu, soal pertanyaannya tentang orang-orang yang berpesta itu, soal hari yang dipestakan, soal apapun, termasuk soal ratapannya pada hari esok dimana ia harus angkat kaki dari rebmesed.

Dan ia juga mengingat benar bagaimana ia mengambil secarik kertas yang tergeletak di lantai kamarnya..dan menuliskan tulisan yang kini sedang ada dalam pandangan matanya. "untuk rebmesed, terima kasih, yang keseribu kalinya".

Hena pun tertidur, dalam keheningan kamar sehabis hujan..

Dan esoknya ia kembali menyusuri perjalanan hidupnya, pekerjaan, kemacetan, pergaulan...kesehariannya..Ia harus kembali bertemu dengan kesehariannya, untuk kemudian dalam kesendirian yang akan datang lagi dengan tiba-tiba, ia kembali merindui sebuah desa bernama rebmesed. Selalu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar