Jumat, 21 Oktober 2011

Rindu

Malam itu, mereka berdua, Rindu dan cucunya sedang duduk di balkon apartemennya, apartemen ayah dari cucunya maksudnya, yang berarti juga anaknya. Rindu memang diminta anaknya untuk menemani cucu satu-satunya tersebut, karena anak laki-lakinya itu sedang tak berada di negeri yang sama, Ia sedang ada urusan pekerjaan dan kebetulan istrinya, juga sedang berada di negeri orang namun di belahan yang berbeda pula.

Rindu, berusia sudah sangat tua hari itu. setidaknya menurutnya sendiri, untuknya angka 40 saja mungkin sudah terlampau banyak. apalagi 60 tahun "semakin lama kau hidup di dunia, semakin kau akan membosan dan membosan lagi", begitu dia pernah berkata kepada anaknya, Rindu memang suka sekali bercerita dengan siapapun bahkan orang yang baru saja Ia kenali.

Hidup bagi Rindu adalah tentang ketersentuhan. Saat dimana kau tersentuh saat itulah kau berarti harus tetap berusaha untuk hidup. Rindu mungkin memang akan terlihat aneh bagi mereka yang tak terlalu mengenal baik dirinya, bahkan dahulu, di masa Ia pernah begitu hidup, di siang bolong, Ia pernah "tahu-tahu" didapati sedang berada di atas genteng rumahnya, Rindu menari dan bernyanyi sambil menengadahkan kepala dan menatap langit dalam tatapan yang bermakna,"jangan kasihani aku Tuhan karena ku tak berkerja..setidaknya sampai hilang ku punya asa". Dia yang menganggur, Dia yang tersentuh. tersentuh...hidup.

"tahukah kamu cucuku, dizaman kakek dulu, begitu banyak puisi tercipta, yang tua yang muda semua menciptanya. Saat itu puisi terasa begitu hidup, begitu segar, begitu berwujud walau dalam ketakberwujudannya", "aku sering dibacakan puisi sama guru-guruku Kek, aku suka..", "Yah..puisi memang indah, tapi entah kenapa tak ku temui lagi kini, atau maaf, aku sering menemuinya, hanya tak terasa saja..", "aku suka puisi, Kek".

"Dengarkan aku dengan telinga kesadaran,
dan demi mencapai kenikmatan,
kerana kata-kata ini datang dari suara ghaib,
Jangan terlalu memikirkan keterpisahan,
agar engkau dapat bersatu,
Kerana begitulah hukumnya,
malaikat pun segera hadir seperti juga syaitan akan lekas pergi ".


Rindu membacakan sedikit puisi dari seorang Pujangga besar dari tanah Persia, yang lebih dari 600 tahun yang lalu, pernah bernafas di bumi yang sama dengannya, Hafez. Seperti halnya Para Pengagum puisi yang lain, Rindu pun begitu mengaggumi seorang Hafez. "Dalam puisinya, Hafez menuliskan kebenaran sejati yang melekat di hati, memberi penyadaran bahwa segala yang tampak tak  nyaman hanyalah sebuah jalan lain yang ada dari keseluruhan hidup, untuk membuka mata pada yang selama ini tak banyak tersentuh", ucapnya.

"Puisi dimulai dengan semangat dan kerinduan, dan berakhir dengan kerendahatian", tulis Goenawan Mohamad dalam bukunya di sekitar sajak. Mari fokuskan pada penciptaanya, penciptaan, mencipta.. mencipta dalam ketotalitasan, keberserahan diri seutuhnya, penjiwaan. Yang bersumber dari semangat, kerinduan, yang terlahir dalam rahim keterasingan atau mungkin kegelapan, jika tak ada "ketaknyamanan" itu, masih akan adakah penjiwaan, total keberserahan dan tentu penciptaan yang benar sejati penciptaan?

Dia tentu tak sedang serius memperbandingkan, Lagi pula Hafez memang berbeda, bahkan menurut Goethe, Seorang sastrawan, humanis dan filsuf asal Jerman, Seorang Hafez tidak dapat disejajarkan dengan siapapun.

Rindu hanya terbawa suasana, suasana dibalkon itu, angin yang bertiup lembut, hamparan tembok gedung-gedung pencakar langit yang kokoh serta lampu-lampu cahaya kota yang menyebar, menggetarkan hatinya, kesemua-muanya pelan-pelan menyusun kembali segala kenangan masa lalu, bukan masa yang sama dengan Hafez tentunya, tapi masa dimana dia pernah merasa benar-benar merasa hidup, masa dimana kesendirian adalah sahabat yang mendengar setiap kata yang tak perlu diucap, sahabat yang memeluk setiap rasa yang merekah seada-adanya.

"zaman ini bukan aku, di buku-buku yang bercerita tentang masa lalu kamu akan banyak melihat dimana aku pernah begitu ada", begitu kata rindu pada cucunya yang sudah setengah tertidur. 

Dihadapan dua manusia itu, dipangkuan salah satu dari mereka, Rindu tepatnya, sebuah laptop masih menyala, layarnya gelap hitam, tak lebih dari 2 jam yang lalu, Rindu menemani cucunya bertemu kangen dengan kedua orang tuanya....via Skype.

Rabu, 12 Oktober 2011

Angin Perubahan

Setelah coba menyelami dunia fotografi selama 3 tahun akhirnya saya dapat kesempatan mengikuti sekolah fotografi untuk pertama kalinya. Kegiatan yang berhasil menyibukkan para pemalas biasanya ujung-ujungnya bakal nerima nasib sebagai kambing hitam dari segala kelelahan atau rasa kantuk si pemalas.

Percayai bahwa ini tidak, seperti ketika kesempatan bertukar bahasa dengan keindahan berupa wanita datang menghampiri, kau tak boleh menyia-nyiakannya. Lagi pula kedisiplinan, ujian akan seberapa kuatnya impian saya untuk hidup di jalan seni visual ini memang sesuatu yang sangat saya inginkan, setidaknya saat ini.

Nama sekolah ini Kelas Pagi dan Anton Ismael adalah orang yang berada dibelakang gerakan sosial ini. Saya dan teman-teman tentu sangat bersyukur karena Sang Pencipta waktu telah mempertemukan kami dengan seorang anak manusia berhati mulia seperti Beliau. Seseorang yang memiliki ketulusan dalam hatinya, ketulusan yang sering saya tuntut pada kehidupan, satu jalan putih yang saya sendiri kadang ragu apakah pernah saya jejaki.

"The camera is an instruments that teaches people how to see without camera", begitu kata Dorothea Lange, sekarang mungkin saya mengerti maksudnya jika melihat sosok seperti Pak'e. Jelas, pertemuan saya dengan Beliau dan Kelas Paginya benar-benar membuka sebuah cakrawala baru, membuka jendela pemikiran saya yang masih bergerak polos ini tentang angin perubahan, tentang angin perubahan yang tak akan berhembus jika tidak dimulai dari nafas kita sendiri.

Dalam film penuh pencerahan, The Shawshank Redemption, tokoh bernama Andy Dufresne dalam satu scenenya pernah berujar "there are places in this world that aren't made out of stone. That there's something inside... that they can't get to, that they can't touch. That's yours.", Sesuatu ini jika saya tafsir sama halnya dengan apa yang diucap Ibu Guru saya ketika di sekolah dulu, "dalam keadaan sesulit apapun ada suatu saat dimana yang perlu kamu dengar adalah suara di hati terdalammu".

Kita tentu pernah berpikir waktu ada kalanya terasa begitu mengalir dan dihiasi dengan rona-rona kebahagiaan namun tak jarang pula terasa lambat dan berat, bagai memikul batu di tengah gurun pasir yang entah dimana ujungnya. Segala kealpaan manusia bisa tiba-tiba hadir diselanya tanpa bisa kita sadari ketika ia mulai merambat, justru ketika semua telah lewat semua terasa begitu segar dalam ruang pikir kita, lalu hadir sesal atau justru acuh dan berulang.

Oh iya, medio Agustus kemarin saya dan teman-teman Kelas Pagi Jakarta kelompok 3 diminta beliau untuk menyelenggarakan sebuah Pameran Fotografi, Beauty is Pain(T), satu pameran foto dengan menggunakan tehnik cetak saltprint (1840) yang mengangkat tema tentang Citra dan eksistensi manusia.Satu pengalaman baru bagi sebagian dari kami.

Ini dia satu karya foto saya yang ikut serta di dalamnya..  Salam.



*Kalau kalian ingin tahu lebih dalam soal Kelas Pagi kalian bisa lihat disini --> Blogspot dan Twitter

Minggu, 09 Oktober 2011

Semalam tadi

Melihat anak-anak manusia itu diatas panggung membuat pikiran saya melayang, tak jarang malam itu, jika kamu melihat saya sedang terdiam memejamkan mata, disaat para hadirin lainnya justru tertawa, sesekali saja saya tertawa, bahkan mungkin kalau tidak sedang diantara orang-orang itu saya mungkin akan memilih untuk membiarkan air mata saya menetes. Semua begitu menyentuh..begitu indah..buat saya yang memang mengaggumi pengahayatan, proses dimana manusia dan yang dicintainya menjadi Satu.

Lengkingan, teriakan, tangisan, getaran, Sastro..Tuyul..Oskar..Pencuri Ranum Pepaya..cerita tentang nenek..Mantra Poligami..Mesin Penenun Hujan..Gus Dur..semua-semuanya dalam bahasa yang nampak indah dalam luaran atau yang berwujud polos, guyon, bodoh, atau jorok sekalipun, menyatu dan masuk dalam memori yang saya percaya suatu saat nanti akan memperkaya saya atau beberapa anak manusia yang hadir pada malam itu. Semua mereka memancarkan sesuatu yang tak mampu saya gambarkan dalam kata, ketidakmampuan ini murni karena kekecilan saya ketika dihadapkan pada sesuatu yang langsung menyentuh hati ini.


"kita punya hak untuk telanjang di kamar mandi dan menyeruput kopi panas", begitu kata Bapak F. Rahardi semalam.