Senin, 12 Desember 2011

Surat Elektronik.

Entah sudah berapa huruf, yang tak disatukan menjadi kata, entah sudah berapa kata yang di-tidak-jadi-kan menjadi kalimat, dan entah sudah berapa banyak kalimat yang tiap katanya terhapus, dipaksa-hilangkan, satu demi satu huruf, hingga kembali seperti semula..kosong, putih.

Dia memandangi detak detik dalam jam dinding, yang terpasang tepat di hadapnya, detik yang berjalan  cepat, sekelebat, tak terlihat. Sebenarnya tentang waktu yang bergerak cepat ini, sudah acap mampir ke alam pikirnya berulang-ulang, saat Ia menepi dari pusat dunia, menyendiri. Satu yang di luar jangkauan, yang acap berwujud pertanyaan, tapi anehnya cukup jarang melahirkan jawaban. Berlalu begitu saja, untuk kemudian hadir lagi, dipikirkan lagi, dipertanyakan lagi..dan mungkin tetap tanpa jawaban lagi.

Berulang kali Ia coba merangkai kata, menjadikannya tak hanya sekedar kalimat cantik, yang berdiri sendiri-sendiri, tapi satu cerita. Berulang kali pula Ia menemui kesulitan. Pikirannya terlampau bercabang, tak fokus, dan imajinasinya lahir lemah, layu, mati.

Lama Ia terdiam, dan seperti kata orang-orang, pada saat kau tak melakukan apa-apa selain diam, tanpa kau sadari detik-detik dengan kejamnya yang diam-diam pula, menggerogoti sisa-sisa waktu hadirmu di dunia.

Di antara kesunyian, Suara Jens Martin Lekman, Seorang Swedia yang sesungguhnya tidak pernah Ia jumpai, seketika saja hadir dengan alunan nada yang hadir bagai pelukan, pelukan hangat bagi mereka yang berumah di malam-malam sepi. 

tak seberapa keras... tak seberapa pelan..

"but are birthdays happy
or are they just countdown to death?
is there need to worry
there might not be much time left?
I haven't lived my life yet

Then it happens
it just blows your mind
the madness of your life..."


Kini...detik-detik telah menghadirkannya hari yang lain dari sebelumnya. Senin, 12 Desember 2011, dan bebunyian yang keluar dari laptop yang menemaninya sedari tadi, sudah cukup membangunkannya dari tidur yang sesaat. 

Sebuah surat elektronik, yang biasa kita akrabi dengan bahasa yang lebih mendunia, E-mail. Dengan kesadaran yang seadanya Ia buka surat itu, dan mendapati sebaris tulisan yang Ia buat sendiri, tepat setahun yang lalu..

"kepada diriku di masa depan...dan lagi, kau kian dekat ke hari akhirmu yang entah kapan, kawan".



*Soal surat elektronik itu, yang kita kirim untuk diri kita sendiri, di masa yang lain, tak usah ada kerut dahi, pusing-pusing...ini memang sedang zamannya. *

Minggu, 04 Desember 2011

Soal meng-enjoy-kan diri

Ini bukan photoshot satu produk jeans atau photoshot sejenis yang lain-lain. Bukan. Foto-foto ini cuma sesi foto iseng-iseng saja. Dan karena kebetulan ada beberapa yang saya suka, maka saya posting dalam blog ini. hehe..

Semoga diri (mu/ku) ter-enjoy-kan.. :D

Sabtu, 19 November 2011

Job!


Foto-foto ini adalah sedikit foto prewed kawan saya, yang saya kerjakan medio bulan agustus-september lalu, yang juga sebagiannya saya posting beberapa waktu yang lalu. Di tengah ketidakjelasan karya-karya foto saya, saya juga menerima job ini loh, hehe. Jadi kalau ada yang tertarik, sila hubungi saya via email tertawasampaipuas@yahoo.com . Salam :D

Senin, 14 November 2011

Lori, Sebuah Dadah.

Jendela, berdiri di antara jejal manusia, mereka yang berkejaran dengan waktu, yang penuh peluh dalam pencarian nafkah, atau mereka yang menunggu atau sekadar duduk-duduk saja di sana, di statiun kereta, di sore hari itu. 

Ada satu guyonan menarik tentang kerumunan manusia "burung-burung yang terbang lebih tinggi, tariannya akan terlihat lebih anggun, karena yang mereka lihat adalah indah kebersatuan manusia, tapi ketika burung-burung itu terbang lebih rendah, mendekat, mereka seperti ketakutan karena ternyata yang ada hanya individu-individu berwajah kusut dengan ragam masalah".


Tatapannya terfokus pada wanita di depannya, wanita yang pelan-pelan menjauh dari tempatnya berdiri. Wanita itu akan pergi, mungkin memang tidak terlalu jauh dan mungkin tidak terlalu lama, Jogja, kota yang ia tuju, tentu bisa ditempuh beberapa jam saja dari Jakarta. Namun dalam sebuah perpisahan, yang senantiasa berat kita tinggalkan bukanlah wujud, karena seribu wujud bisa saja datang, melainkan kenangan. Segala kenangan tentangnya yang membuat perpisahan ini terasa lain bagi Jendela.


Gloria, sahabatnya. Jendela biasa memanggilnya Lori. Memandanginya sesaat itu pula Jendela terkenang akan suatu kesan baik tentang sahabatnya ini, satu sikap yang tipikal Lori, 'aneh' namun berkesan pada tahap renungan yang lebih khusyuk.


Dadah. pada akhir perjumpaan manusia, tak ada yang baru memang pada kebiasaan ini. Dadah adalah hal yang biasa, lazim. satu salam yang sudah turun temurun, satu salam perpisahan yang berlaku juga di belahan dunia lain. lantas apa yang membuat Jendela, pemuda berusia hampir seperempat abad ini, berkesan?


Lebih dari seminggu yang lalu, kekasih Lori, Jaka, yang juga teman dari Jendela, datang menemuinya. Ia ingin bercerita suatu hal pada Jendela, tentang Lori. Walau status Jendela dan Lori hanya berteman, mereka memiliki hubungan yang lebih lama dari Jaka, 7 tahun, sedang Jaka dan Lori baru saling mengenal 3 bulan.


Jaka menanyakan soal 'keanehan' Lori, tentang kerapnya Lori melakukan dadah, mulai dari momen sederhana yang acap nan wajar, seperti, akhir percakapan di telepon, momen mengantar pulang ke rumah, pergi ke kampus, kantor, salon, tempat yoga, sampai pada yang satu ini, yang mungkin akan terdengar menggelikan, ke toilet! ketika Jaka mengantarnya buang air kecil!. Lori Selalu menghadirkan salam itu di setiap perpisahan dalam momen apapun.


Mendengarnya, Jendela tidak terlampau kaget. Ia tahu kebiasaan sahabatnya itu, walau tahu bukan berarti memahami. Yah, karena mereka memang sudah saling mengenal, luar dalam. 

Jendela tak tahu apakah ada lagi yang pernah menanyakan hal ini kepada Lori, tentang kenapa Ia kerap melakukannya, terakhir Jendela meledek kebiasaannya, yang bagi Jendela dan teman-temannya, 'aneh' itu, Ia hanya membalasnya dengan tawa kecil. Selalu.


Sampai hari itu tiba..satu momen yang mungkin tidak memberikan pemahaman yang utuh, tapi cukup untuk membuat Jendela berhenti bertanya lagi..


5 tahun lalu, saat Jendela dan Lori masih duduk di bangku SMA. Mereka mendapat Ujian hidup yang besar, kehilangan salah satu kawan baik untuk selamanya. 

Jendela, Lori dan kawan-kawannya yang lain pun pergi mengantarkan kawan baik mereka itu ke tempat peristirahatannya yang terakhir, ke alam keabadian nun jauh di sana, mereka semua menangis, berduka. Ditinggal selamanya oleh orang yang sudah menjadi bagian dari hidup, memang tidak pernah mudah, waktu pun tak akan bisa menyembuhkannya, waktu hanya akan membuat kita terbiasa lalu berdamai dengannya.


Tapi Jendela lihat sesuatu yang lain pada Lori. Lori banyak diam. Tak banyak air mata. Sesekali saja ia lihat sahabatnya itu memejamkan mata, untuk mencegah air matanya mengalir jatuh dari mata sipitnya yang tampak sedikit berkaca-kaca. Terlihat keharuan itu, tapi dia berusaha untuk meredam sedihnya.


lama mereka di sana. Saat orang satu per satu pulang, mereka tak juga beranjak. Sampai sepi, dan tersisa hanya Jendela dan Lori saja di sana..

"ayo kita pulang Ri", sejenak dia diam.."duluan De, sebentar aku menyusul". Jendela pun beranjak lebih dulu, dari kejauhan Jendela melihatnya, Ia melambaikan tangannya ke arah batu nisan itu. Lori melakukannya lagi. Sebuah salam perpisahan. Sebuah dadah.


Ada nada yang mengalun indah dari semua 'kekonyolan' ini, bagi Jendela. Lori, melakukannya setiap saat pada tiap perpisahan, pada tiap akhir perjumpaan, tak peduli rentang waktu, baik yang sesaat hingga tak bisa disebut sebagai suatu perpisahan yang utuh, sampai pada perpisahan yang benar sebuah perpisahan, yang tak menghadirkan perjumpaan lagi di kemudian. Satu perpisahan yang selamanya. Antara yang hidup dan mati.


Lori dan dadah. Dua hal yang saling menjaga, tak khianat, setia, menyatu. kalau kau pernah mendengar bahwa tak ada yang lebih indah dari sebuah puisi, pun begitu, Lori dan dadahnya di mata Jendela. Mereka adalah sebuah puisi itu sendiri. Satu sisi membingungkanmu, di sisi lain ia memeperkayamu.


"Deeeeeeeee!!!", Jendela terbangun dari lamunannya, ia melihat sahabatnya berdiri tepat di depan pintu kereta, kereta yang akan membawanya ke kota yang sangat ia sukai, Jogja. Lori menatap Jendela dengan seluruh badannya, hingga mereka berhadap-hadapan dengan sempurna.

Di tengah keterburuannya, Lori kembali melakukannya, lagi. Dengan senyum meneduhkan yang tak pernah lepas dari bibirnya. Sikap yang sangat tipikal dirinya, yang akan selalu Jendela kenang darinya selama
hidup. Sebuah salam perpisahan yang selalu diajarkan orang tua jendela sewaktu ia kecil dulu. Satu salam perpisahan yang akan sangat dimengerti dengan bahasa apapun. Satu salam perpisahan yang biasa kita sebut dengan dadah.


"dadaaaaah Deeeee, sampai jumpa lagiii!". Jendela pun sontak membalas dadahnya.


Mereka pun berpisah..


Dalam perjalanan pulang, Jendela banyak berpikir, kenapa satu hal yang pernah dianggapnya 'konyol' ini, mendapat ruang yang besar tidak hanya dalam ruang pikirnya, namun juga di hati. 

Dalam hati kecilnya ia bertanya, itukah dadah terakhir Lori padanya? apakah pertemuan itu adalah yang terakhir di antara mereka? Ia tak tahu, namun ada sedikit lega di hatinya. Karena ia masih sempat berpikir, membalas dadah sahabatnya itu.


"what would you do if you knew that you had less than a minute to live?", tanya seorang kapten Colter Stevens pada Christina Warren, "I'd make those seconds count", jawab Christina. 

Percakapan ini memang hanya rekaan dalam sebuah film, tapi mungkin kita pun akan berpikir sama, karena kita tidak tahu, kita tidak akan pernah tahu berapa lama kita dikaruniai kesempatan. Seperti sebaris puisi Chairil Anwar, "waktu jalan aku tidak tau apa nasib waktu".

Jumat, 21 Oktober 2011

Rindu

Malam itu, mereka berdua, Rindu dan cucunya sedang duduk di balkon apartemennya, apartemen ayah dari cucunya maksudnya, yang berarti juga anaknya. Rindu memang diminta anaknya untuk menemani cucu satu-satunya tersebut, karena anak laki-lakinya itu sedang tak berada di negeri yang sama, Ia sedang ada urusan pekerjaan dan kebetulan istrinya, juga sedang berada di negeri orang namun di belahan yang berbeda pula.

Rindu, berusia sudah sangat tua hari itu. setidaknya menurutnya sendiri, untuknya angka 40 saja mungkin sudah terlampau banyak. apalagi 60 tahun "semakin lama kau hidup di dunia, semakin kau akan membosan dan membosan lagi", begitu dia pernah berkata kepada anaknya, Rindu memang suka sekali bercerita dengan siapapun bahkan orang yang baru saja Ia kenali.

Hidup bagi Rindu adalah tentang ketersentuhan. Saat dimana kau tersentuh saat itulah kau berarti harus tetap berusaha untuk hidup. Rindu mungkin memang akan terlihat aneh bagi mereka yang tak terlalu mengenal baik dirinya, bahkan dahulu, di masa Ia pernah begitu hidup, di siang bolong, Ia pernah "tahu-tahu" didapati sedang berada di atas genteng rumahnya, Rindu menari dan bernyanyi sambil menengadahkan kepala dan menatap langit dalam tatapan yang bermakna,"jangan kasihani aku Tuhan karena ku tak berkerja..setidaknya sampai hilang ku punya asa". Dia yang menganggur, Dia yang tersentuh. tersentuh...hidup.

"tahukah kamu cucuku, dizaman kakek dulu, begitu banyak puisi tercipta, yang tua yang muda semua menciptanya. Saat itu puisi terasa begitu hidup, begitu segar, begitu berwujud walau dalam ketakberwujudannya", "aku sering dibacakan puisi sama guru-guruku Kek, aku suka..", "Yah..puisi memang indah, tapi entah kenapa tak ku temui lagi kini, atau maaf, aku sering menemuinya, hanya tak terasa saja..", "aku suka puisi, Kek".

"Dengarkan aku dengan telinga kesadaran,
dan demi mencapai kenikmatan,
kerana kata-kata ini datang dari suara ghaib,
Jangan terlalu memikirkan keterpisahan,
agar engkau dapat bersatu,
Kerana begitulah hukumnya,
malaikat pun segera hadir seperti juga syaitan akan lekas pergi ".


Rindu membacakan sedikit puisi dari seorang Pujangga besar dari tanah Persia, yang lebih dari 600 tahun yang lalu, pernah bernafas di bumi yang sama dengannya, Hafez. Seperti halnya Para Pengagum puisi yang lain, Rindu pun begitu mengaggumi seorang Hafez. "Dalam puisinya, Hafez menuliskan kebenaran sejati yang melekat di hati, memberi penyadaran bahwa segala yang tampak tak  nyaman hanyalah sebuah jalan lain yang ada dari keseluruhan hidup, untuk membuka mata pada yang selama ini tak banyak tersentuh", ucapnya.

"Puisi dimulai dengan semangat dan kerinduan, dan berakhir dengan kerendahatian", tulis Goenawan Mohamad dalam bukunya di sekitar sajak. Mari fokuskan pada penciptaanya, penciptaan, mencipta.. mencipta dalam ketotalitasan, keberserahan diri seutuhnya, penjiwaan. Yang bersumber dari semangat, kerinduan, yang terlahir dalam rahim keterasingan atau mungkin kegelapan, jika tak ada "ketaknyamanan" itu, masih akan adakah penjiwaan, total keberserahan dan tentu penciptaan yang benar sejati penciptaan?

Dia tentu tak sedang serius memperbandingkan, Lagi pula Hafez memang berbeda, bahkan menurut Goethe, Seorang sastrawan, humanis dan filsuf asal Jerman, Seorang Hafez tidak dapat disejajarkan dengan siapapun.

Rindu hanya terbawa suasana, suasana dibalkon itu, angin yang bertiup lembut, hamparan tembok gedung-gedung pencakar langit yang kokoh serta lampu-lampu cahaya kota yang menyebar, menggetarkan hatinya, kesemua-muanya pelan-pelan menyusun kembali segala kenangan masa lalu, bukan masa yang sama dengan Hafez tentunya, tapi masa dimana dia pernah merasa benar-benar merasa hidup, masa dimana kesendirian adalah sahabat yang mendengar setiap kata yang tak perlu diucap, sahabat yang memeluk setiap rasa yang merekah seada-adanya.

"zaman ini bukan aku, di buku-buku yang bercerita tentang masa lalu kamu akan banyak melihat dimana aku pernah begitu ada", begitu kata rindu pada cucunya yang sudah setengah tertidur. 

Dihadapan dua manusia itu, dipangkuan salah satu dari mereka, Rindu tepatnya, sebuah laptop masih menyala, layarnya gelap hitam, tak lebih dari 2 jam yang lalu, Rindu menemani cucunya bertemu kangen dengan kedua orang tuanya....via Skype.

Rabu, 12 Oktober 2011

Angin Perubahan

Setelah coba menyelami dunia fotografi selama 3 tahun akhirnya saya dapat kesempatan mengikuti sekolah fotografi untuk pertama kalinya. Kegiatan yang berhasil menyibukkan para pemalas biasanya ujung-ujungnya bakal nerima nasib sebagai kambing hitam dari segala kelelahan atau rasa kantuk si pemalas.

Percayai bahwa ini tidak, seperti ketika kesempatan bertukar bahasa dengan keindahan berupa wanita datang menghampiri, kau tak boleh menyia-nyiakannya. Lagi pula kedisiplinan, ujian akan seberapa kuatnya impian saya untuk hidup di jalan seni visual ini memang sesuatu yang sangat saya inginkan, setidaknya saat ini.

Nama sekolah ini Kelas Pagi dan Anton Ismael adalah orang yang berada dibelakang gerakan sosial ini. Saya dan teman-teman tentu sangat bersyukur karena Sang Pencipta waktu telah mempertemukan kami dengan seorang anak manusia berhati mulia seperti Beliau. Seseorang yang memiliki ketulusan dalam hatinya, ketulusan yang sering saya tuntut pada kehidupan, satu jalan putih yang saya sendiri kadang ragu apakah pernah saya jejaki.

"The camera is an instruments that teaches people how to see without camera", begitu kata Dorothea Lange, sekarang mungkin saya mengerti maksudnya jika melihat sosok seperti Pak'e. Jelas, pertemuan saya dengan Beliau dan Kelas Paginya benar-benar membuka sebuah cakrawala baru, membuka jendela pemikiran saya yang masih bergerak polos ini tentang angin perubahan, tentang angin perubahan yang tak akan berhembus jika tidak dimulai dari nafas kita sendiri.

Dalam film penuh pencerahan, The Shawshank Redemption, tokoh bernama Andy Dufresne dalam satu scenenya pernah berujar "there are places in this world that aren't made out of stone. That there's something inside... that they can't get to, that they can't touch. That's yours.", Sesuatu ini jika saya tafsir sama halnya dengan apa yang diucap Ibu Guru saya ketika di sekolah dulu, "dalam keadaan sesulit apapun ada suatu saat dimana yang perlu kamu dengar adalah suara di hati terdalammu".

Kita tentu pernah berpikir waktu ada kalanya terasa begitu mengalir dan dihiasi dengan rona-rona kebahagiaan namun tak jarang pula terasa lambat dan berat, bagai memikul batu di tengah gurun pasir yang entah dimana ujungnya. Segala kealpaan manusia bisa tiba-tiba hadir diselanya tanpa bisa kita sadari ketika ia mulai merambat, justru ketika semua telah lewat semua terasa begitu segar dalam ruang pikir kita, lalu hadir sesal atau justru acuh dan berulang.

Oh iya, medio Agustus kemarin saya dan teman-teman Kelas Pagi Jakarta kelompok 3 diminta beliau untuk menyelenggarakan sebuah Pameran Fotografi, Beauty is Pain(T), satu pameran foto dengan menggunakan tehnik cetak saltprint (1840) yang mengangkat tema tentang Citra dan eksistensi manusia.Satu pengalaman baru bagi sebagian dari kami.

Ini dia satu karya foto saya yang ikut serta di dalamnya..  Salam.



*Kalau kalian ingin tahu lebih dalam soal Kelas Pagi kalian bisa lihat disini --> Blogspot dan Twitter

Minggu, 09 Oktober 2011

Semalam tadi

Melihat anak-anak manusia itu diatas panggung membuat pikiran saya melayang, tak jarang malam itu, jika kamu melihat saya sedang terdiam memejamkan mata, disaat para hadirin lainnya justru tertawa, sesekali saja saya tertawa, bahkan mungkin kalau tidak sedang diantara orang-orang itu saya mungkin akan memilih untuk membiarkan air mata saya menetes. Semua begitu menyentuh..begitu indah..buat saya yang memang mengaggumi pengahayatan, proses dimana manusia dan yang dicintainya menjadi Satu.

Lengkingan, teriakan, tangisan, getaran, Sastro..Tuyul..Oskar..Pencuri Ranum Pepaya..cerita tentang nenek..Mantra Poligami..Mesin Penenun Hujan..Gus Dur..semua-semuanya dalam bahasa yang nampak indah dalam luaran atau yang berwujud polos, guyon, bodoh, atau jorok sekalipun, menyatu dan masuk dalam memori yang saya percaya suatu saat nanti akan memperkaya saya atau beberapa anak manusia yang hadir pada malam itu. Semua mereka memancarkan sesuatu yang tak mampu saya gambarkan dalam kata, ketidakmampuan ini murni karena kekecilan saya ketika dihadapkan pada sesuatu yang langsung menyentuh hati ini.


"kita punya hak untuk telanjang di kamar mandi dan menyeruput kopi panas", begitu kata Bapak F. Rahardi semalam.

Kamis, 22 September 2011

Kita


Bahasan tentang citra entah kenapa selalu menganggu pikiran saya, buat saya pribadi mempersinggungkan antara citra dan eksistensi pada sesama manusia adalah satu hal yang harus rajin benar dipertanyakan lagi oleh si pencetusnya sendiri. Yakinkah kamu pada apa yang kamu katakan? 

Pada cara individu manusia hidup seperti apapun itu, saya selalu percaya ada satu cara yang bersih..yang putih..yang membuahi tindakan yang ketika individu manusia itu renungi di masa tuanya nanti, tak akan Ia sesali. Satu cara putih yang dalam kehidupan bermasyarakat melahirkan, etika, yang sejalan hidupnya akan dipelintir ke abu atau bahkan ke ruang yang berlawanan dengannya, hitam, oleh Ibunya sendiri, Manusia.

Sang pencipta, saya yakin benar tak pernah melakukan, menciptakan sesuatu dengan sia-sia, baik itu pada baris-baris waktu yang telah kita lewati pun pada baris-baris waktu yang telah menanti untuk kita isi di masa yang akan datang. Seperti yang sering kita dengar tentang filosofi cermin. Baiknya kita memang sering-sering berkaca, merenungi apa yang sudah kita lalui.

Selasa, 20 September 2011

Renungan


Renungan. dari obrolan gw dengan seorang kawan di sebuah warung makan pinggir jalan beberapa waktu yang lalu gw jadi inget soal satu hal yang dari dulu sampai sekarang ini gw anggep krusial pada kaitannya antara etos dan kualitas. Temen gw itu bilang "yang kurang dari hidup di zaman sekarang ini adalah kamar mandi" dia melanjutkan.."yah..kamar mandi, dimana lo bisa melakukan apapun, dimana lo bisa sebebas apapun, selepas apapun, seterbuka apapun..tanpa topeng, tanpa tekanan pada anggapan baik lingkungan dimana lo hidup."

Gw dulu pernah dengar kata-kata semacam ini. Kualitas hadir dari etos yang total. Total..tanpa ketergantungan diri lo dengan faktor eksternal yang tak sejalan. Gw yakin kita semua sedang menghadapi sebuah perang yang lebih besar dari perang dunia yang menghancurkan entah berapa jumlah jiwa manusia di masa lalu.  Kamar mandi, Kesendirian...kita semua telah kehilangan itu.

"Menutup Mata" dan Tertawakan..

Banyak dari kita yang jadi strees sendiri melihat tingkah "bodoh" orang-orang yang kita temui atau sekedar melihat tingkah mereka itu ditelevisi misalnya. tenang Frens, gw salah satunya :P, dari renungan gw tentang hal yang merugikan bagi kita sendiri ini akhirnya gw memutuskan untuk tidak melihat atau menutup mata dan telinga terhadap apa-apa yang gw anggep cuman bikin kesel sendiri.

sejak beberapa bulan yang lalu misalnya, gw memutuskan untuk mengurangi kegiatan menonton hal-hal yang berbau politik (perlu gw sebutin alasannya? hehe ). dan kalian tahu apa yang terjadi dengan gw? lo harus coba sendiri! tapi gw jamin perasaan ini lebih yahud dari perasaan senang lo pada apapun *kecuali cinta yah* hahaa..

setiap keputusan yang kita ambil emang selalu melahirkan efek baik dan buruk. tapi gw selalu inget kata temen gw yang jujur sebenernya ngeselin tapi ga tahu kenapa gw selalu suka.."Kita cowo kali, Bey" Yup! sebagai seorang Pria, eh cowo..kita harus berani pada apapun, seorang Pria harus berani membuat keputusan, harus berani menentukan apa yang dia mau didalam hidupnya. hehee

perkaya wawasan dan tertawalah Fren.


Iklan

beberapa bulan yang lalu saya coba membuat beberapa foto yang memiliki tujuan untuk mempromosikan sebuah produk, sebutlah iklan. seperti layaknya pengalaman pertama, cukup sulit dimana kita dituntut untuk mengenal produknya lebih dalam (product knowledge) dan tentu mengenal pula target market dari produk tersebut.

mengambil jurusan periklanan ternyata tidak menjamin seseorang mengerti betul tentang apa itu iklan dan bagaimana cara membuatnya... setidaknya seseorang itu saya :P